"If you want to get something that you never own, you must do something that you never done before"
"jika kamu ingin mendapatkan sesuatu yang tak pernah kamu miliki.kamu harus melakukan sesuatu yang tak pernah kamu lakukan"

Tuesday 3 December 2013

JU'ALAH



A.    PENGERTIAN JU’ALAH
Ju’alah  (الجعا لة)artinya janji hadiah atau upah. berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizam الالتزام (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Jadi Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”.   Madzhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.   Definisi pertama (Madzhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Madzhab Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.
B.     DASAR HUKUM JU’ALAH
Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa Ju'alah boleh dilakukan berdasarkan Firman Allah swt dalam Q.S. Yusuf ayat 72:

artinya “penyeru-penyeru berkata ‘kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”
Hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri:





“Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat: ’Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat meruqyah (menjampi)?’ Para sahabat menjawab: ’Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan bersabda,Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.'" (HR. Bukhari).
Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII/323 :
 “Kebutuhan masyarakat memerlukan adanya ju’alah; sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang, dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan akad ijarah (sewa/pengupahan) padahal (orang/pemiliknya) perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembali, sementara itu, ia tidak menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya secara suka rela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat mendorong agar akad ju’alah untuk keperluan seperti itu dibolehkan sekalipun (bentuk dan masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas.”
2. Pendapat Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, XV/449 :

 “Boleh melakukan akad Ju’alah, yaitu komitmen (seseorang) untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.”
3. Pendapat para ulama dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri II/24 :

 Ju’alah boleh dilakukan oleh dua pihak, pihak ja’il (pihak pertama yang menyatakan kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan) dan pihak maj’ul lah (pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperlukan pihak pertama)…, (Ju’alah) adalah komitmen orang yang cakap hukum untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu kepada orang tertentu atau tidak tertentu.”

Mazhab Hanafi tidak membenarkan Ju'alah karena dalam Ju'alah terdapat unsur gharar.


C.    RUKUN DAN SYARAT JU’ALAH
Rukun Ju’alah yaitu:
1.      Sighat
2.      Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan.
3.      Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah.
4.      Maj’ul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5.      Upah/hadiah/fee

Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:
(1) Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
(2) Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan Ju’alah).
(3) Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan seperti seseorang berkata, “barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari maka ia dapatkan bayaran sekian” jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari maka ia berhak mendapatkan komisi/fee.
(4) Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
(5) Madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
(6) Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
D.    SIFAT AKAD JU’ALAH
Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memandang bahwa akad Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa-apa yang dijanjikan boleh saja di batalkan oleh kedua belah pihak. Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat. Mazhab Maliki berpendapat bahwa Ju'alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali, pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan. Namun jika pihak pertama membatalkannya sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengan kadar pekerjaan yang telah dilaksanakannya.
E.     PERBEDAAN JU’ALAH DENGAN IJARAH
Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (Ulama Madzhab Hanbali), ia dapat dibedakan dengan Ijaarah (transaksi upah) dari lima segi :
(1)  Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada Ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersbut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.
(2)  Pada Ju’alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya. Sedangkan pada Ijaarah, batas waktu penyelesaian bentuk pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek pekerjaan itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya.

(3) Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam Ijarah, dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan bersama asal saja yang memberi upah itu percaya.
(4) Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan disurat kabar. Sedangkan dalam akad Ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika perjanjian itu dibatalkan, maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan. Biasanya sangsinya disebutkan dalam perjanjian (akad).
(5) Dari segi ruang lingkupnya Madzhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ju’alah, boleh juga menjadi obyek dalam transaksi Ijarah.
Namun, tidak semua yang dibenarkan menjadi obyek dalam transaksi Ijarah, dibenarkan pula Menjadi Objek dalam transaksi Ju’alah. Dengan demikian, ruang lingkup Ijarah lebih luas daripada ruang lingkup Ju’alah. Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi obyek dalam akad Ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ju’alah. Dalam Ijarah, orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum ditemukan. Sedangkan pada Ju’alah, orang itu baru mendapat upah atau hadiah sesudah pekerjaannya itu sempurna. 

F. APLIKASI JU’ALAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
            Belum ada aplikasi Ju’alah yang khusus dalam lembaga keuangan syariah, namun aplikasi ini bisa dilihat dalam praktek penerbitan SBIS (sertifikat Bank Indonesia Syariah).

DAFTAR PUSTAKA
Al Fauzan, Saleh.2006.Fiqih Sehari-Hari.Gema Insani:Jakarta.
Hasan, M. Ali.2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat).PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Sudarsono, Heri.2007.Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi.Ekonisia: Yogyakarta
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 62/DSN-MUI/XII/2007

Thursday 7 November 2013

Teori Hak Dalam Islam

Pengertian Hak
  • Katahaksecara etimologi berasal dari bahasa Arab “haqq” yang
mempunyai berbagai macam arti, seperti milik, ketetapan, dan kepastian.
  • Secara terminologi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa:

hak adalah sebuah keistimewaan yang dengannya syara’ menetapkan
sebuah kewenangan (otoritas) atau sebuah beban (taklif)”.
  • Ibn Nujaim—tokoh fiqh Hanafi–: اختصاص حاجز  Suatu kekhususan yang terlindung”. 
  • Definisi diatas mencakup berbagai macam hak, seperti hak Allah
    terhadap hamba-Nya (shalat, puasa), hak-hak yang menyangkut
    perkawinan, hak-hak umum (hak negara, hak kehartabendaan, dan
    hak-hak non-materi seperti hak perwalian).
  • Sumber hak itu adalah syara(Allah), bukan manusia ataupun alam.
  • Untuk mendapatkan hak ada sebabnya baik yang langsung dari syara
    atau sebab lain yang diakui syara'.
    Sumber Hak
      1.syara, seperti berbagai ibadah; 
    2.akad seperti perjanjian perdagangan; 
    3.kehendak pribadi seperti janji dan nadzar; 
    4.perbuatan yang bermanfaat seperti melunasi hutang; dan 
    5.perbuatan yang menimbulkan madharat pada orang lain, seperti
       mewajibkan ganti rugi karena kelalaiannya dalam memakai barang
       milik orang lain. 

    Macam-macam Hak dari Segi Pemilik 
    Hak Allah: hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembah dan mengabdi, dan menegakkan shari’at-Nya. 
    Hak Manusia (Hak Anak Adam): hak yang dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak kriminal, menghilangkan permusuhan dll. Atau bersifat khusus, seperti menjaga kepemilikan, hak penjual atas harga, hak pembeli atas obyek transaksi dll. Hak ini bisa dilepaskan-dimaafkan, diubah, digugurkan, dan diwariskan.
    Hak Musytarak
    1.Hak Musytarak: persekutuan hak Allah dan hak anak Adam.
       Adakalnya hak Allah lebih dimenangkan, begitu juga sebaliknya. Contoh masa iddah istri yang dicerai terdapat dua hak. 
    2.Hak Allah dimenangkan: hak Allah menjaga percampuran nasab,
       dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya. Menjaga
       percampuran nasab memiliki manfaat lebih. 
    3.Hak anak adam dimenangkan: hak qishas bagi wali orang yang
        terbunuh. Hak Allah berupa membebaskan masyarakat dari tindak
        kriminal. Hak wali berupa menghilangkan rasa jengkel, serta
        menenangkan hatinya dengan matinya orang yang membunuh.    
     4.Haqq mali—al-huquq al-maliyah, adalah hak yang terkait dengan
       kehartabendaan dan manfaat, seperti hak penjual terhadap harga
       barang yang dijual dan hak penyewa terhadap sewaannya. Sedangkan
       haqq ghair mali adalah hak yang tidak terkait dengan 
       kehartabendaan, seperti hak qisas, seluruh hak dasar manusia, hak
       wanita dalam talak karena suaminya tidak memberi nafkah, hak
        suami mentalak istri karena mandul, hak hadanah, hak perwalian,
         dan hak politik
    5.Haqq Shakhsi: hak yang ditetapkan sharauntuk seorang pribadi,
       berupa kewajiban terhadap orang lain, seperti hak penjual menerima
       harga barang dan hak pembeli menerima barang (berkaitan dengan
        haqq al-intifa).   
    6.Haqq aini adalah hak seseorang yang ditetapkan sharaterhadap zat
       sesuatu, sehingga dia memiliki kekuasaan penuh untuk
       menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki
       benda, haqq al-irtifaq, dan hak terhadap benda jaminan
    7.Haqq mujarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas
       apabila digugurkan melalui perdamaian atau pemaafan. Seperti
       dalam persoalan hutang, ketika si pemberi hutang membebaskan,
        maka tidak ada konsekuensi apapun bagi si penghutang.
    8.Haqq ghair mujarrad jika digugurkan atau dimaafkan masih
       meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan, seperti hak
       qisas. Apabila ahli waris korban memaafkan, maka pembunuh yang
       tadinya berhak untuk dibunuh, menjadi tidak berhak lagi dibunuh
    9.Haqq diyani adalah hak yang tidak boleh dicampuri(diintervensi)
       oleh kekuasaan pengadilan. Misalnya dalam persoalan hutang yang
       tidak bisa dibuktikan oleh pemberi hutang karena tidak cukupnya
       alat bukti. Sekalipun tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan,
       tanggung jawab yang berhutang di hadapan Allah tetap ada
    10.Haqq Qadha’i adalah seluruh hak yang tunduk di bawah kekuasaan pengadilan, dan pemilik hak itu mampu untuk menuntut dan membuktikannya di depan hakim.
    11.Perbedaan keduanya terletak pada persoalan zahir dan batin. Hakim hanya menangani hak-hak zahir yang tampak nyata, sedang hak diyani menyangkut persoalan yang tersembunyi dalam hati dan tidak terungkap di depan pengadilan. Atas dasar ini ada kaidah: الحاكم يتولى بالظواهر والله يتولى بالسرائرHakim hanya menangani persoalan nyata, sedang Allah akan menangani persoalan yang tersembunyi (yang sebenarnya) dalam hati
    HAK IRTIFA’
      *— Haqq al-Irtifaq, disebut milk al-manfaat al-‘aini (pemilikan manfaat materi). Secara terminology haqq al-irtifaq adalahHak pemanfaatan benda tidak bergerak, baik benda itu milik pribadi atau milik umum”. Seperti pemanfaatan lahan tetangga untuk jalan dan pemanfaatan sumur tetangga untuk mengambil air minum. 
      * —Menurut Wahbah az-Zuhailiy, penyebab timbulnya haqq al-Irtifaq adalah: (1) perserikatan umum atau sejak semula barang tersebut untuk kepentingan umum; (2) Adanya perjanjian atau syarat yang disepakati ketika melakukan transaksi, seperti penjual mensyaratkan bahwa tanah yang dijual masih bisa dilewati bersama; (3) At-Taqadum (kedaluarsa); hak irtifak yang telah berlaku sejak lama (tidak ada yang tahu kapan mulainya. 
      * Haq al-Intifaadalah kewenangan memanfaatkan sesuatu yang berada dalam kekuasaan atau milik orang lain, dan kewenangan itu terjadi karena beberapa hal yang disyari’atkan Islam, yaitu pinjam-  meminjam, sewa, waqaf, wasiyat manfaat, dan ibahah. Disebut juga dengan milk al-manfaat ash-shakhsi (pemilikan manfaat pribadi), karena kelima sebab tersebut. Karena sebab tersebut juga yang membuat haq al-intifabersifat tidak sempurna (al-milk an-naqis, karena hanya memiliki manfaat saja).
       * Berakhirnya Haq al-Intifa’adalah (1) Habis masanya; (2) Terjadi kerusakan pada benda, sehingga tidak memungkinkan lagi memanfaatkannya; (3) Meninggalnya pemanfaat. Jika yang mati pemilik? Hanafiyah: berakhir; Syafi’iyyah dan Hanabilah akad yang mengikat bisa diwariskan, tapi kalau tabarruberakhir. Malikiyyah, tergantung waktu. Jikananggungmenunggu, contoh meminjam tanah untuk berkebun dan belum panen, maka menunggu sampai panen.
    HAK SYUF’AH 

    * Syuf’ah berasal dari kata syaf’ yang berarti dhamm ‘percampuran’. (Hak membeli lebih dulu).

    *CONTOH: seseorang yang ingin menjual rumah atau kebun
      didatangi oleh tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta
      syuf’ah dari apa yang dijualnya. Kemudian ia menjualkan
      kepadanya dengan memprioritaskan yang lebih dekat
      hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut
      syafi’.
    *—Dasar hukum syuf’ah adalah sunnah, dan umat Islam telah sepakat
            akan akan pensyariatannya. Bukhari meriwayatkan dari Jabir ibn
            Abdullah bahwa Rasulullah saw.menetapkan syuf’ah untuk barang
           yang pembagian kepemilikannya belum jelas. Apabila telah ada
           batasan secara jelas dan dapat dibedakan, mereka tidak lagi
           berlaku syuf’ah.
    *—Islam mensyari’atkan syuf’ah untuk mencegah kemudharatan dan
      menghindari permusuhan. Gak kepemilikan syafi’ dari pembelian
      orang lain (pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya
      kemudharatan dari orang lainyang baru saja ikut serta.

    Antara Hak dan Iltizam 

    *—Substansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan
       pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedangkan
       dari sisi pelaku disebut iltizam.

    *—Iltizam berarti keharusan atau kewajiban.

    *—Secara terminologi, iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang
      mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau
      melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.

    *—Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim,
      sedang pemilik hak dinamakan multazam lahu atau shahibul haq.

    Akibat Hukum Suatu Hak  

    *—Pada prinsipnya Islam memberi jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setiap pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau pengrusakan hak, seseorang dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi.

    *—Dalam konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), seperti janji Allah memberinikmat surga bagi yang menjalankan ibadah, atau berupa ancaman bagi orang yang meninggalkan.

    *—Hak anak adam dilindungi dengan norma agama, seperti kewajiban seseorang menghormati orang lain atas harta, dan harga diri. Jika terjadi perselisihan hakim atau pemerintah berkuasa memaksa orang lain untuk memenuhi haknya. 

    (1)Pelaksanaan dan penuntutan hak;

    (3)Penggunaan hak 
    *—Pada hakikatnya dalam melaksanakan, menuntut, memelihara, dan menggunakan hak harus sesuai dengan yang dishariatkan. Dalam penggunaan hak tidak boleh merugikan pihak lain. Misalnya membangun rumah, tidak boleh menghalangi akses jalan, cahaya, dan udara untuk tetangganya/orang lain.
     
    ta’assuf fi isti’mal al-haqq  
    *Perbuatan yang memberi madharat kepada orang lain, sengaja atau tidak (dalam menggunakan haknya) disebut dengan ta’assuf fi isti’mal al-haqq, sedang menggunakan sesuatu yang bukan haknya disebut ta’addi.

    *Keharaman ta’assuf fi isti’mal al-haqq disebabkan dua hal: (1) penggunaan hak tidak boleh sewenang-wenang, sehingga merugikan orang lain, dan (2). penggunaan hak pribadi tidak hanya untuk kepentingan sendiri, tapi harus mendukung hak-hak masyarakat.               
    Bentuk-bentuk ta’assuf fi isti’mal al-haqq 

    *Apabila seseorang dalam menggunakan haknya mengakibatkan pelanggaran terhadap hak orang lain/menimbulkan kerugian. Seperti kesewenangan menggunakan hak wasiat (melebihi 1/3 harta).

    *—Apabila seseorang melakukan perbuatan yang tidak disyariatkan daan tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan hak tersebut. Misal nikah tahlil. (nikah tidak untuk membina keluarga tetapi untuk diceraikan, dan untuk membolehkan mantan suami menikah lagi dengan mantan istri yang ditalak tiga. 
    *—Apabila seseorang menggunakan haknya, tetapi menimbulkan kerugian lebih besar bagi orang lain kemaslahatan umum. Misalnya ihtikar (penimbunan). 
    *—Apabila seseorang menggunakan haknya tidak sesuai tempatnya atau bertentangan dengan adat kebiasaan sehingga menimbulkan madzarat. Misalnya membunyikan tape yang sangat kencang sehingga mengganggu tetangga, kecuali hal itu telah menjadi budaya misalm acara mantenan. 
    Alternatif Tindakan Mengurangi
    Ta’asuf fi Isti’malil Haq
     
    *—Menghilangkan hal yang menimbulkan madzarat bagi orang lain. Mislanya merbohkan bangunan yang menggangu haq irtifaq (kepentingan umum). 
    *—Membayar ganti rugi (kompensasi) sesuai kerugian orang lain. 
    *—Membatalkan perbuatan tersebut, misal nikah tahlil. 
    *—Memberlakukan sanksi (ta’zir). 
    *—Menindak paksa bagi orang yang menimbulkan kerugian.